JAMES
James..
We were always friends..
From a child today..
“Ini lagu gw yo..” kata James tiba-tiba di sore hari itu, dilapangan belakang sekolah. Aryo hanya tersenyum. Baterai walkmannya sudah mau habis, melodi sendu lagu Billy Joel itupun semakin sendu saja didengar. Sesendu sore itu, sore terakhir mereka duduk disana dan setelahnya mereka akan terbebas dari wajib belajar 12 tahun milik pemerintah. Duduk dalam diam bercengkrama dalam hati, mengenang hari-hari bahagia yang mereka lewati bersama sampai saat ini. Disana, dilapangan belakang sekolah itu mereka selalu habiskan waktu berdua, saling menempatkan satu sama lain, bersenda gurau tiada henti. Semua yang mereka pikirkan selalu saja lewat dari mulut mereka, tak ada rahasia untuk disembunyikan bagi mereka. Disamping itu pula selagi disana ada james, maka disana pula ada Aryo dan begitu pula sebaliknya.
“Gue sayang elo yo..” satu kalimat yang terlontar dari mulut James, sontak membuat Aryo kaget sejadi-jadinya. “It isn’t just a love as a brother like we were, gw sayang sama elo.” lanjut James meyakinkan.
Semakin tidak percaya saja Aryo bahwa selama hampir lima tahun ini, James mencintainya. Jadi semua perhatian yang diberikan James kepadanya tersimpan perasaan yang jauh lebih dalam dari pada hubungan persaudaraan yang selama ini mereka gaung-gaungkan. Shit! maki Aryo dalam hati. Pantas saja setiap Aryo ingin menjodohkannya dengan perempuan dia selalu menolak. “gw lagi ga tertarik untuk pacaran dulu yo!” katanya. Tapi semua itu sudah jelas sekarang, James telah memilih untuk mencintai jenisnya, dan hal yang lebih menyakitkan lagi mengapa harus Aryo.
“Kena..pa…….” Aryo mulai berujar pelan “musti….” berhenti sejenak berusaha meyakinkan dirinya apa yang akan dia katakan adalah benar. Atau hanya sekedar pembelaan diri Aryo terhadap keadaan yang sudah memasung dia selama hampir sepuluh menit ini. Sepuluh menit yang menyiksa. “Gue?” Aryo menyelesaikan kalimatnya dan kali ini nadanya meninggi. Kemarahan yang selama ini dia anggap hal yang salah menjadi benar, dia harus membela diri, dia tidak mau menjadi “si korban”, dia terlalu pengecut.
“sejak kapan?” tanya aryo akhirnya.
“4 tahun yang lalu.” jawabnya.
“gw jg ga nyangka yo, gw kira gw normal. tapi sejak ada lo gw punya semangat untuk hidup. lo itu cahaya buat gw, cuma lo yang bikin gw ga ngerasa sakit.” Aryo diam tanpa kata. “gw berusaha untuk ngelupain demi persahabatan kita, tapi gw ga bisa. semakin gw lupain dada gw semakin sakit, malah perasaan itu tambah muncul, tambah besar, dan malah tambah bikin gw nyaman.”
Muka Aryo merah padam, ingin rasanya Aryo berteriak sejadi-jadinya saat itu. Penyesalan telah mengenal James menguak sudah, muak rasanya ada disitu, di keadaan seperti itu dengan orang yang selama ini dia banggakan. Tangannya mengepal seperti ingin memukul, tapi bukan James yang dia pukul, hanya karpet rumput yang dia duduki yang dia pukul. Kesabarannya sudah sampai dipuncaknya. Cukup baginya mendengar alasan dari James.
“ lo tau kan gw bakal berangkat ke australia? hhmm?” Aryo memulai lagi, mulai tidak sabar. Tanpa tahu apa yang harus dia bicarakan, pikirannya terlalu kacau.
“ ga ada dalam pikiran gw untuk memenuhi kemauan lo mie. kali ini gw ga bisa.”
“cukup” lanjut Aryo.
“jangan hubungi gw lagi Jamie. please. gw perlu waktu.” Akhirnya kata-kata itu muncul dari bibir Aryo yang lembut. Kalimat itu merupakan kalimat paling menyakitkan yang pernah dikatakan Aryo kepada James. Aryo pun menyabet tasnya dan melenggang pergi meninggalkan James sendiri.
“tapi gw ga punya waktu lagi yo.”
Sesaat Aryo pergi, disana, dilapangan belakang sekolah James terbaring miring sambil memegangi dadanya. Diam, tak bergerak, tak bernapas, lagi.
***
15 tahun sejak kejadian itu, Aryo tidak pernah memaafkan dirinya. Lelaki tampan blasteran itu telah tiada karena dia telah mengatakan kata-kata perpisahan yang teramat sakit untuk diingat. Penyakit kelainan jantung milik James saat itu sudah mencapai akut, kalau saja Aryo memberi kesempatan James untuk melanjutkan apa yang dia maksud, mungkin James akan mendukung Aryo sekarang. Duduk di ruang tunggu rumah sakit, menunggu bersama orang tua dan mertuanya akan kelahiran anak pertamanya. Jika James masih ada, dia mungkin akan duduk di sebelahnya memegangi pundaknya, memberi semangat dan menenangkannya atas kegelisahan yang menjadi-jadi. Jika saja 15 tahun yang lalu Aryo tidak pergi begitu saja, James mungkin masih hidup.
Ya, 15 tahun yang lalu James akan menjalani operasi jantungnya. Pada hari itu. Hari dimana Aryo meninggalkannya. James hanya ingin Aryo disebelahnya, menjadi saksi semangat hidup James melawan penyakit yang selama bertahun-tahun menggerogoti badannya. Hanya itu yang sebenarnya James mau.
Pintu ruang UGD terbuka kasar seperti ada yang membuka pintunya dengan keras tanpa belas kasihan. Derap langkah cepat mendekati ruang tunggu, suster itu seperti kehabisan napas saat menyampaikan hasil operasi sesar dan kelahiran sang bayi. Istrinya selamat begitupun juga dengan si bayi.
“laki-laki pak. selamat.” kata si suster.
Sontak semua yang ada di ruang tunggu itu berjalan cepat, Aryo berada dipaling depan diikuti mertua dan orang tuanya. Sesampainya di ruang persalinan, matanya langsung tertuju ke sang istri yang masih tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius, lalu matanya liar mencari dimana keberadaan si bayi. Suster yang lain memberi tanda bahwa bayinya ada padanya, Aryo mengahampirinya dengan hati-hati, sisuster menyerahakan bayinya. Betapa bahagianya hidup Aryo sekarang, perasaanya meluap-luap, seperti perasaan saat dia bertemu James 20 tahun yang lalu. Perasaan seperti dia telah menemukan dirinya kembali.
“akan diberi nama siapa pak?” tanya si suster.
Aryo diam sejenak, berpikir, sesaat senyumpun merekah dibibirnya.
“James.” katanya yakin.
THE END